Kejarlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina: Hadits atau Peribahasa?

sekolah

Ungkapan “kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” sudah sangat akrab di telinga kita. Sejak sekolah dasar, banyak guru, ustadz, hingga motivator yang mengutipnya sebagai penyemangat belajar. Kalimat ini begitu populer karena mengandung pesan mendalam: ilmu harus dikejar sejauh mungkin, bahkan jika harus menempuh perjalanan yang jauh dan sulit.

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah benar ungkapan ini berasal dari hadits Nabi Muhammad ﷺ? Ataukah hanya sebuah peribahasa yang kemudian dianggap sebagai hadits? Untuk menjawab hal itu, mari kita bahas satu per satu pertanyaan yang sering muncul seputar kalimat “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”.

Apakah Ada Hadits Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina?

Secara populer, kalimat ini sering disandarkan kepada Rasulullah ﷺ. Bunyi teks Arabnya adalah:

اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
(Utlubul ‘ilma walau bish-shīn)

Artinya: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina.”

Namun, para ulama ahli hadits meneliti sumber kalimat ini dan menemukan bahwa hadits tersebut tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits shahih seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, atau Sunan Abu Dawud. Bahkan, sebagian ulama menilai riwayat ini dhaif (lemah), bahkan ada yang menyebutnya maudhu’ (palsu).

Meskipun begitu, substansi dari kalimat tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Banyak hadits lain yang menegaskan kewajiban menuntut ilmu. Misalnya hadits riwayat Ibnu Majah:

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.”

Dengan demikian, walaupun teks tentang “Cina” bukan hadits yang kuat, semangatnya tetap selaras dengan Islam.

Apa Arti Peribahasa Kejarlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina?

Jika dilihat sebagai peribahasa, ungkapan ini mengandung arti bahwa menuntut ilmu harus dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Mengapa yang dipilih adalah Cina?

  • Pada masa Rasulullah ﷺ, Cina dikenal sebagai negeri yang jauh dari Arab.

  • Cina juga masyhur sebagai pusat perdagangan, kebudayaan, dan teknologi. Kertas, kompas, dan berbagai pengetahuan lahir dari sana.

  • Karena itu, Cina dijadikan simbol dari jarak yang jauh dan perjalanan yang sulit, sehingga bermakna: kejarlah ilmu meskipun harus menempuh kesusahan besar.

Jadi, ungkapan ini bukan sekadar menunjuk lokasi geografis, tetapi juga memiliki makna figuratif: belajar itu harus sungguh-sungguh, meskipun butuh usaha keras dan perjalanan panjang.

Mengapa Rasulullah Dikatakan Menganjurkan Umatnya?

Walaupun kalimat tentang Cina tidak shahih, Rasulullah ﷺ memang banyak menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam hadits riwayat Tirmidzi, beliau bersabda:

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”

Dengan hadits ini, kita bisa memahami bahwa Islam menempatkan ilmu sebagai salah satu pilar utama kehidupan. Tidak heran jika kemudian sebagian ulama dan masyarakat mengaitkan semangat menuntut ilmu hingga ke negeri jauh, seperti Cina, dengan ajaran Nabi ﷺ.

Pesan intinya adalah: ilmu sangat penting sehingga tidak boleh berhenti dicari, walau harus menempuh perjalanan jauh.

Apa Bahasa Arabnya Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina?

Kalimat yang populer adalah:

اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ (Utlubul ‘ilma walau bish-shīn)

  • Utlubū = tuntutlah / carilah

  • al-‘ilma = ilmu

  • walau = meskipun

  • bish-shīn = di negeri Cina

Secara literal, kalimat ini berarti: “Carilah ilmu walau harus sampai ke negeri Cina.”

pengetahuan

Apakah Cina Disebutkan dalam Hadits?

Dalam hadits-hadits shahih, Cina tidak disebut secara khusus. Tidak ada riwayat valid yang menyebutkan nama Cina dalam konteks perintah menuntut ilmu.

Namun, penyebutan Cina dalam ungkapan populer itu bisa dipahami sebagai bentuk kiasan. Karena Cina merupakan negeri yang jauh dari Hijaz (Arab Saudi sekarang), maka kalimat itu menggambarkan usaha maksimal dalam menuntut ilmu.

Apa Artinya Utlubul ‘Ilma Walau Bish-Shīn?

Kalimat ini artinya: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina.”

Ada dua makna yang terkandung di dalamnya:

  1. Makna literal: jika perlu, pergilah sejauh Cina untuk mendapatkan ilmu.

  2. Makna kiasan: jangan batasi diri, kejarlah ilmu meski sulit, jauh, dan membutuhkan pengorbanan besar.

Relevansi di Zaman Modern

Di era globalisasi, ungkapan ini justru terasa sangat relevan. Dulu, pergi ke Cina mungkin butuh perjalanan berbulan-bulan dengan unta dan kapal. Sekarang, belajar lintas negara bisa dilakukan dengan beasiswa, pertukaran pelajar, atau bahkan kursus online.

Beberapa poin relevansi modern:

  • Beasiswa luar negeri: banyak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu hingga ke Amerika, Eropa, Jepang, atau Cina.

  • Ilmu digital: internet memungkinkan kita belajar dari universitas dunia tanpa harus berangkat fisik.

  • Semangat lifelong learning: menuntut ilmu tidak berhenti setelah sekolah, tapi sepanjang hayat.

Dengan demikian, semangat “kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” harus terus kita pegang, baik secara harfiah maupun maknawi.

Ungkapan “kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” memang bukan hadits shahih. Sebagian ulama bahkan menilainya lemah atau palsu. Namun, pesan yang terkandung di dalamnya sejalan dengan ajaran Islam: menuntut ilmu adalah kewajiban, dan perjuangan mencarinya harus dilakukan tanpa batas.

Cina dalam ungkapan itu hanyalah simbol dari jauhnya perjalanan dan sulitnya usaha yang harus ditempuh demi meraih ilmu. Di era modern, pesan ini tetap relevan: kita dituntut untuk belajar sepanjang hayat, meskipun harus menempuh perjalanan jauh, biaya besar, atau usaha keras.

Maka, jangan pernah berhenti belajar. Karena dengan ilmu, Allah memuliakan hamba-Nya di dunia dan akhirat.

Daftar Referensi

  1. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Muqaddimah – Hadits: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.”

  2. Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad – Menyebutkan riwayat “Utlubul ‘ilma walau bish-shīn” namun dinilai dhaif.

  3. Al-Dhahabi, Mizan al-I’tidal – Menjelaskan kelemahan sanad hadits “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”.

  4. Ibn Hibban, al-Majruhin – Menyebut hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena sanadnya bermasalah.

  5. Al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah – Menyatakan hadits “walau bish-shīn” tidak sahih, namun maknanya benar karena menuntut ilmu memang diperintahkan.

  6. Al-Qur’an Surah Al-Mujadilah ayat 11 – Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu.

  7. Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 9 – Allah menegaskan perbedaan orang berilmu dan yang tidak berilmu.

Baca Juga: Investasi Terbaik menurut OJK, Islam dan Trend Global

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *